This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 17 Mei 2011

MORBILI


MORBILI
Definisi
Morbili adalah penyakit virus akut, menular yang ditandai dengan 3 stadium, yaitu stadium prodormal ( kataral ), stadium erupsi dan stadium konvalisensi, yang dimanifestasikan dengan demam, konjungtivitis dan bercak koplik ( Ilmu Kesehatann Anak Edisi 2, th 1991. FKUI ).
Morbili adalah penyakit anak menular yang lazim biasanya ditandai dengan gejala-gejala utama ringan, ruam serupa dengan campak ringan atau demam, scarlet, pembesaran serta nyeri limpa nadi ( Ilmu Kesehatan Anak vol 2, Nelson, EGC, 2000)
Etiologi :
Penyebabnya adalah virus morbili yang terdapat dalam sekret nasofaring dan darah sealma masa prodormal sampai 24 jam setelah timbul bercak-bercak. Virus ini berupa virus RNA yang termasuk famili Paramiksoviridae, genus Morbilivirus.
Cara penularan dengan droplet infeksi.
Epidemiologi :
Biasanya penyakit ini timbul pada masa anak dan kemudian menyebabkan kekebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita morbili akan mendapat kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai umur 4-6 bulan dan setelah umur tersebut kekebalan akan mengurang sehingga si bayi dapat menderita morbili. Bila seseorang wanita menderita morbili ketika ia hamil 1 atau 2 bulan, maka 50% kemungkinan akan mengalami abortus, bila ia menderita morbili pada trimester I, II, atau III maka ia akan mungkin melahirkan seorang anak dengan kelainan bawaan atau seorang anak dengan BBLR, atau lahir mati atau anak yang kemudian meninggal sebelum usia 1 tahun.
Patofisiologi :
Droplet Infection (virus masuk)
Berkembang biak dalam RES
Keluar dari RES keluar sirkulasi
Pirogen :
- pengaruhi termostat dalam hipotalamus
Titik setel termostat meningkat
Suhu tubuh meningkat
- pengaruhi nervus vagus ® pusat
muntah di medula oblongata.
- muntah
- anorexia
- malaise
Mengendap pada organ-organ yang
secara embriologis berasal dari ektoderm seperti pada :
- Mukosa mulut
infiltrasi sel-sel radang mononuklear pada kelenjar sub mukosa mulut
Koplik`s spot
- Kulit
Ploriferasi sel-sel endotel kalpiler di dalam korium
Terjadi eksudasi serum dan kadang-kadang eritrsit dalam epidermis
Rash/ ruam kulit
Konjunctiva
terjadi reaksi peradangan umum
Konjuctivitis
Fotofobia
- mukosa nasofaring dan broncus
infiltrasi sel-sel sub epitel dan sel raksasa berinti banyak
Reaksi peradangan secara umum
Pembentukan eksudat serosa disertai proliferasi sel monokuler dan sejumlah kecil pori morfonuklear
Coriza/ pilek, cough/ batuk
Sal. Cerna
Hiperplasi jaringan limfoid terutama pada usus buntu ® mukosa usus teriritasi ® kecepatan sekresi bertambah ® pergerakan usus meningkat ® diare
Manifestasi klinis
Masa tunas/inkubasi penyakit berlangsung kurang lebih dari 10-20 hari dan kemidian timbul gejala-gejala yang dibagi dalam 3 stadium
1. Stadium kataral (prodormal)
Stadium prodormal berlangsung selama 4-5 hari ditandai oleh demam ringa hingga sedang, batuk kering ringan, coryza, fotofobia dan konjungtivitis. Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul enantema, timbul bercak koplik yang patognomonik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai. Bercak koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema. Lokalisasinya dimukosa bukalis berhadapandengan molar dibawah, tetapi dapat menyebar tidak teratur mengenai seluruh permukaan pipi. Meski jarang, mereka dapat pula ditemukan pada bagian tengah bibir bawah, langit-langit dan karankula lakrimalis. Bercak tersebut muncul dan menghilang dengan cepat dalam waktu 12-18 jam. Kadang-kadang stadium prodormal bersifat berat karena diiringi demam tinggi mendadak disertai kejang-kejang dan pneumoni. Gambaran darah tepi ialah limfositosis dan leukopenia.
2. Stadium erupsi
Coryza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema / titik merah dipalatum durum dan palatum mole. Terjadinya eritema yang berbentuk makula papula disertai dengan menaiknya suhu tubuh. Eritema timbul dibelakang telinga dibagian atas lateral tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat perdarahan primer pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening disudut mandibula dan didaerah leher belakang. Juga terdapat sedikit splenomegali, tidak jarang disertai diare dan muntah. Variasi dari morbili yang biasa ini adalah “Black Measles” yaitu morbili yang disertai perdarahan pada kulit, mulut, hidung dan traktus digestivus.
3. Stadium konvalesensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi) yang bisa hilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik untuk morbili. Pada penyakit-penyakit lain dengan eritema atau eksantema ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada komplikasi


Komplikasi
- Otitis media akut
- Pneumonia / bronkopneumoni
- Encefalitis
- Bronkiolitis
- Laringitis obstruksi dan laringotrakkhetis
Pencegahan
1. Imunusasi aktif
Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan vaksin campak hidup yang telah dilemahkan. Vaksin hidup yang pertama kali digunakan adalah Strain Edmonston B. Pelemahan berikutnya dari Strain Edmonston B. Tersbut membawa perkembangan dan pemakaian Strain Schwartz dan Moraten secara luas. Vaksin tersebut diberikan secara subkutan dan menyebabkan imunitas yang berlangsung lama.
Pada penyelidikan serulogis ternyata bahwa imunitas tersebut mulai mengurang 8-10 tahun setelah vaksinasi. Dianjurkan agar vaksinasi campak rutin tidak dapat dilakukan sebelum bayi berusia 15 bulan karena sebelum umur 15 bulan diperkirakan anak tidak dapat membentuk antibodi secara baik karena masih ada antibodi dari ibu. Pada suatu komunitas dimana campak terdapat secara endemis, imunisasi dapat diberikan ketika bayi berusia 12 bulan.
2. Imunusasi pasif
Imunusasi pasif dengan serum oarng dewasa yang dikumpulkan, serum stadium penyembuhan yang dikumpulkan, globulin placenta (gama globulin plasma) yang dikumpulkan dapat memberikan hasil yang efektif untuk pencegahan atau melemahkan campak. Campak dapat dicegah dengan serum imunoglobulin dengan dosis 0,25 ml/kg BB secara IM dan diberikan selama 5 hari setelah pemaparan atau sesegera mungkin.
Pengobatan
Terdapat indikasi pemberian obat sedatif, antipiretik untuk mengatasi demam tinggi. Istirahat ditempat tidur dan pemasukan cairan yang adekuat. Mungkin diperlukan humidikasi ruangan bagi penderita laringitis atau batuk mengganggu dan lebih baik mempertahanakan suhu ruangan yang hangat.
Pemeriksaan Diagnostik
  • Pemeriksaan Fisik
  • Pemeriksaan Darah
Penetalaksanaan Teraupetik
  • Pemberian vitamin A
  • Istirahat baring selama suhu meningkat, pemberian antipiretik
  • Pemberian antibiotik pada anak-anak yang beresiko tinggi
  • Pemberian obat batuk dan sedativum









ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
A. Identitas diri :
B. Riwayat Imunisasi
C. Kontak dengan orang yang terinfeksi
D. Pemeriksaan Fisik :
1) Mata : terdapat konjungtivitis, fotophobia
2) Kepala : sakit kepala
3) Hidung : Banyak terdapat secret, influenza, rhinitis/koriza, perdarahan hidung (pada stad eripsi ).
4) Mulut & bibir : Mukosa bibir kering, stomatitis, batuk, mulut terasa pahit.
5) Kulit : Permukaan kulit ( kering ), turgor kulit, rasa gatal, ruam makuler pada leher, muka, lengan dan kaki (pada stad. Konvalensi), evitema, panas (demam).
6) Pernafasan : Pola nafas, RR, batuk, sesak nafas, wheezing, renchi, sputum
7) Tumbuh Kembang : BB, TB, BB Lahir, Tumbuh kembang R/ imunisasi.
8) Pola Defekasi : BAK, BAB, Diare
9) Status Nutrisi : intake – output makanan, nafsu makanan
E. Keadaan Umum : Kesadaran, TTV

II. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien Morbili adalah
1. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan organisme virulen
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya batuk
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya rash
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
5. Gangguan aktivitas diversional berhubungan dengan isolasi dari kelompok sebaya

III. Perencanaan
1. Perluasan infeksi tidak terjadi
2. Anak menunjukkan tanda-tanda pola nafas efektif
3. Anak dapat mempertahankan integritas kulit
4. Anak menunjukan tanda-tanda terpenuhinya kebutuhan nutrisi
5. Anak dapat melakukan aktivitas sesuai dengan usia dan tugas perkembangan selama menjalani isolasi dari teman sebaya atau anggota keluarga.
IV. Implementasi
1. Mencegah peluasan infeksi
o Tempatkan anak pada ruangan khusus
o Pertahankan isolasi yang ketat di rumah sakit
o Gunakan prosedur perlindugan infeksi jika melakukan kontak dengan anak
o Mempertahankan istirahat selama periode prodromal (kataral)
o Berikan antibiotik sesuai dengan order
2. Mempertahankan pola nafas yang efektif
o Mengkaji ulang status pernafasan (irama, edalaman, suara nafas, penggunaan otot bantu pernafasan, bernafas melalui mulut)
o Mengkaji ulang tanda-tanda vital (denyut nadi, irama, dan frekuensi)
o Memberikan posisi tempat tidur semi fowler / fowler
o Membantu klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan kemampaunnya
o Menganjurkan anak untuk banyak minum
o Memberikan oksigen sesuai dengan indikasi
o Memberikan obat-obatan yang dapat meningkatkan efektifnya jalan nafas (seperti Bronkodilator, antikolenergik, dan anti peradangan)
3. Mempertahankan integritas kulit
o Mempertahankan kuku anak tetap pendek, menjelaskan kepada anak untuk tidak menggaruk rash
o Memberikan obat antipruritus topikal, dan anestesi topikal
o Memberikan antihistamin sesuai order dan memonitor efek sampingnya
o Memandikan klien dengan menggunakan sabun yang lembut untuk mencegah infeksi
o Jika terdapat fotofobia, gunakan bola lampu yang tidak terlalu terang di kamar klien
o Memeriksa kornea mata terhadap kemungkinan ulserasi
4. Mempertahankan kebutuhan nutrisi
o Kaji ketidakmampuan anak untuk makan
o Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki status gizi pada saat selera makan anak meningkat.
o Berikan makanan yang disertai dengan supleman nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi
o Kolaborasi untuk pemberian nutrisi parenteral jika kebutuhan nutrisi melalui oral tidak mencukupi kebutuhan gizi anak
o Menilai indikator terpenuhinya kebutuhan nutrisi (berat badan, lingkar lengan, membran mukosa)
o Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tapi sering
o Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan skala yang sama
o Mempertahankan kebersihan mulut anak
o Menjelaskan pentingya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit

5. Mempertahankan kebutuhan aktivitas sesuai dengan usia dan tugas perkembangan
o Memberikan aktivitas ringan yang sesuai dengan usia anak (permainan, keterampilan tangan, nonton televisi)
o Memberikan makanan yang menarik untuk memberikan stimulasi yang bervariasi bagi anak
o Melibatkan anak dalam mengatur jadwal harian dan memilih aktivitas yang diinginkan
o Mengijinkan anak untuk mengerjakan tugas sekolah selama di rumah sakit, menganjurkan anak untuk berhubungan dengan teman melalui telepon jika memungkinkan
V. Perencanaan Pemulangan
ü Jelaskan terapi yang diberikan : dosis, efek samping
ü Melakukan imunisasi jika imunisasi belum lengkap sesuai dengan prosedur
ü Menekankan pentingnya kontrol ulang sesuai jadwal
ü Informasikan jika terdapat tanda-tanda terjadinya kekambuhan
DAFTAR PUSTAKA
Ilmu Kesehatann Anak Edisi 2, th 1991. FKUI
Ilmu Kesehatan Anak vol 2, Nelson, EGC, 2000

T E T A N U S


T E T A N U S
I.                   Nama Lain : Lockjaw
Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani. Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh me­lalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris.
Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian dari penyakit tetanus masih cukup tinggi. Oleh karena itu tetanus masih merupakan masalah kesehatan. Akhir–akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan angka kematian telah menu­run secara drastis.
II.                SEJARAH
Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Hipocrates. Pada abad II Areanus the Cappadocian melaporkan gambaran klinis tetanus, kemu­dian selama berabad–abad penyakit ini jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan Rattone menggambarkan transmisi tetanus pada kelinci Percobaan.
Kitasato (1889) pertama kali mengisolasi Clostridium Tetani. Setahun kemudian bersama dengan von Behring melaporkan adanya anti–toksin spesifik pada serum binatang yang telah disuntikkan dengan tok­sin tetanus. Pada tahun 1926, mulai dikembangkan toksoid yang dapat merangsang pembentukan imunitas.
III.             ETIOLOGI
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um, termasuk gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella antigen.
Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini tahan dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat merupakanflora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang biak.
Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik Kuman tetanus tumbuh subur pads suhu 17°C dalam media kaldu daging dan media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat mengfermentasikan glukosa.
Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang.
Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.
IV.             EPIDEMIOLOGI
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di samping sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Di Amerika Serikat pada tahun 1915 dilaporkan bahwa kasus tetanus yang terbanyak pada umur 1:5 tahun, sesuai dengan yang dilaporkan di Manado (1987) dan surabaya (1987) ternyata insiden tertinggi pada anak di atas umur 5 tahun.
Perkiraan angka kejadian umur rata–rata pertahun sangat meningkat sesuai kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5–19 tahun dan 20–29 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 30–39 tahun dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka kejadian lebih banyak dijumpa pada anak laki–laki; dengan perbandingan 3:1.
V.                PATOGENESIS
Chlostridium Tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk (oleh besi: kaleng), luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat.
Pandi dkk (1965) melaporkan bahwa 70% pada telinga sebagai port d’entree, sedangkan beberapa peneliti melaporkan bahwa porte d'entree melalui telinga hanya 6,5%.
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati, benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat mudah mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua cara.
1.      Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung–­ujung saraf perifer atau motorik melalui axis silindrik kecornu anterior susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer.
2.      Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk seterusnya susunan saraf pusat.
Aktivitas tetanospamin pada motor end plate akan menghambat pelepasan asetilkolin, tetapi tidak menghambat alfa dan gamma motor neuron sehingga tonus otot meningkat dan terjadi kontraksi otot berupa spasme otot. Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf sim­patis pada kasus yang berat, sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urine.
Tetanospamin yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin tetanus.
VI.             MANIFESTASI KLINIK
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3–21 hari, namun dapat singkat hanya 1–2 hari dan kadang–kadang lebih dari 1 bulan. Makin pendek masa inkubasi makin jelek prognosanya. Terdapat hubungan antara jarak tempat invasi Clostridium Tetani dengan susun­an saraf pusat dan interval antara luka dan permulaan penyakit, dimana makin jauh tempat invasi maka inkubasi makin panjang.
Secara klinis tetanus ada 3 macam :
1.      Tetanus umum
2.      Tetanus lokal
3.      Tetanus cephalic.
Tetanus umum:
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijum­pai. Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, eks­traksi gigi, ulkus dekubitus dan suntikan hipodermis.
Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang (trismus) dan leher (kuduk kaku). Lima puluh persen penderita tetanus umum akan menuunjukkan trismus.
Dalam 24–48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebab­kan mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai opisthotonus.
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (raba­an, sinar dan bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi ekstensi.
Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme sphincter kandung kemih.
Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat di­sertai panas yang tinggi sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia jantung.
Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:
1)      Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun dirangsang.
2)      Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila dirangsang.
3)      Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan.
Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas:
Grade 1: ringan
-          Masa inkubasi lebih dari 14 hari
-          Period of onset  > 6 hari
-          Trismus positif tetapi tidak berat
-          Sukar makan dan minum tetapi disfagia tidak ada.
Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.
Grade II: sedang
-          Masa inkubasi 10–14 hari
-          Period of onset 3 had atau kurang
-          Trismus ada dan disfagia ada.
Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis tidak ada.
Grade III: berat
-          Masa inkubasi < 10 hari
-          Period of onset 3 hari atau kurang
-          Trismus berat
-          Disfagia berat.
Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat banyak dan takikardia.
Tetanus lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena gambaran klinis tidak khas.
Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%, kadang–kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.
Bentuk cephalic
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: n. III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gang­guan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan–bulan.
Tetanus cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosa bentuk tetanus cephalic jelek.
VII.          DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan :
-          Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi
-          Gejala klinis; dan
-          Penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi.
Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pada pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai–nilai yang spesifik; lekosit dapat normal atau dapat meningkat.
Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus atau jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu daging. Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan Clostridium Tetani.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun kadang–kadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot.
Pemeriksaan elektroensefalogram adalah normal dan pada pemerik­saan elektromiografi hasilnya tidak spesifik.
VIII.       DIAGNOSIS BANDING
1)      Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di mana adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glu­kosa menurun.
2)      Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.
3)      Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Tris­mus jarang ditemukan, kejang bersifat klonik.
4)      Keracunan strichnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5)      Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal spasme dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus.
6)      Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
7)      Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.
8)      Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ekstrapiramidal. Adanya reaksi dis­tonik akut, torsicolis dan kekakuan otot,
9)      Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis leher dan spondilitis leher.
IX.             KOMPLIKASI
1)      Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme otot–otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Ka­rena akumulasi sekresi saliva serta sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman sehingga sering terjadi aspirasi pneu­moni, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
2)      Pada kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takikardia, hiperrtensi, vasokonstriksi perifer dan rang­sangan miokardium.
3)      Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi per­darahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat kejang yang terus–menerus terutama pada anak dan orang de­wasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossi­fikans sirkumskripta.
4)      Komplikasi yang lain:
-          Laserasi lidah akibat kejang;
-          Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja
-          Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Penyebab kematian penderita tetanus akibat komplikasi yaitu:  Bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan pneumotoraks.
X.                PROGNOSA
Dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1)      Masa inkubasi
Makin panjang masa inkubasi biasanya penyakit makin ringan, sebaliknya makin pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila inkubasi kurang dari 7 hari maka tergolong berat.


2)      Umur
Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prog­nosanya makin jelek.
3)      Period of onset
Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus sampai terjadi kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosa jelek.
4)      Panas
Pada tetanus febris tidak selalu ada. Adanya hiperpireksia maka prognosanya jelek.
5)      Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosa jelek.
6)      Ada tidaknya komplikasi
7)      Frekuensi kejang
Semakin sering kejang semakin jelek prognosanya.
XI.             pengoBATAN / peNATALAKSANAAN
1)      Pengobatan Umum:
-          Isolasi penderita untuk menghindari rangsangan. Ruangan perawatan harus tenang.
-          Perawatan luka dengan Rivanol, Betadin, H202.
-          Bila perlu diberikan oksigen dan kadang–kadang diperlukan tin­dakan trakeostomi untuk menghindari obstruksi jalan napas.
-          Jika banyak sekresi pada mulut akibat kejang atau penumpukan saliva maka dibersihkan dengan pengisap lendir.
-          Makanan dan minuman melalui sonde lambung. Bahan makanan yang mudah dicerna dan cukup mengandung protein dan kalori.
2)      Pengobatan Khusus:
a)      Anti Tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
-          Toksin bebas dalam darah;
-          Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.
Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas da­lam darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan:
-          Anamnesa apakah ada riwayat alergi;
-          Tes kulit dan mata; dan
-          Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000.
Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang ber­sifat heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis.
Tes mata
Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin tetanus 1:10 dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang lain hanya ditetesi garam faali. Positif bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan bengkak pada konjungtiva.
Tes kulit
Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali secara intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi kemerahan dan indurasi lebih dari 10 mm.
Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara bertahap (Besredka).
Dosis
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Behrman (1987) dan Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000–­100.000 u yang diberikan setengah lewat intravena dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena diberikan dengan cara melarutkannya dalam 100–200 cc glukosa 5% dan diberikan selama 1–2 jam. Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis 20.000 u selama 2 hari. Di Manado, ATS diberikan dengan dosis 10.000 i.m, sekali pem­berian.
b)     Antikonvulsan dan sedatif
Obat–obat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi kepekaan jaringan saraf terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam penanganan tetanus ialah obat yang dapat mengontrol kejang dan menurunkan spastisitas tanpa mengganggu pernapasan, gerakan–­gerakan volunter atau kesadaran.
Obat–obat yang lazim digunakan ialah:
-          Diazepam
Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali i.v. perlahan–lahan dengan dosis opti­mum 10 mg/kali diulangi setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral–(sonde lam­bung) dengan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali sehari diberikan 6 kali.



-          Fenobarbital
Dosis awal: 1 tahun 50 mg intramuskuler; 1 tahun 75 mg intramuskuler. Dilanjutkan dengan dosis oral 5–9 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 3 dosis.
-          Largactil
Dosis yang dianjurkan 4 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 6 dosis.
c)      Antibiotik.
-          Penisilin Prokain
Digunakan untuk membasmi bentuk vegetatif Clostridium Tetani.
Dosis: 50.000 u/kg.bb/hari i.m selama 10 hari atau 3 hari setelah panas turun. Dosis optimal 600.000 u/hari.
-          Tetrasiklin dan Eritromisin
Diberikan terutama bila penderita alergi terhadap penisilin.
Tetrasiklin    :  30–50 mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis.
Eritromisin   :  50 mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis,  sela­ma 10 hari.
d)     Oksigen: Bila terjadi asfiksia dan sianosis.
e)      Trakeostomi
Dilakukan pada penderita tetanus jika terjadi:
-          Spasme berkepanjangan dari otot respirasi
-          Tidak ada kesanggupan batuk atau menelan
-          Obstruksi larings; dan
-          Koma.
f)       Hiperbarik
Diberikan oksigen murni pada tekanan 5 atmosfer.
XII.          PENCEGAHAN
1)      Perawatan luka
Terutama pada luka tusuk, kotor atau luka yang tercemar dengan spora tetanus.
2)      hnunisasi pasif
Diberikan antitoksin, pemberian antitoksin ada 2 bentuk, yaitu:
-          ATS dari serum kuda;
-          Tetanus Immunoglobulin Human (TIGH).
Dosis yang dianjurkan belum ada keseragaman pendapat
-          1500–3000 u i.m
-          3000–5000 u i.m.
Pemberian ini sebaiknya didahului dengan tes kulit dan mata.
Dosis TIHG: 250–500 u i.m
Kapan kita memberikan ATS/TIGH atau Toksoid Tetanus maupun antibiotik ? Hal ini tergantung dari kekebalan seseorang apakah orang tersebut sudah pernah mendapat imunisasi dasar dan boosternya, berapa lama antara pemberian toksoid dengan terjadinya luka.
3)      Imunisasi aktif
Di Indonesia dengan adanya program Pengembangan Imunisasi (PPI) selain menurunkan angka kesakitan juga mengurangi angka kematian tetanus. Imunisasi tetanus biasanya dapat diberikan dalam bentuk DPT; DT dan TT.
-          DPT : diberikan untuk imunisasi dasar
-          DT: diberikan untuk booster pada usia 5 tahun; diberikan pada anak dengan riwayat demam dan kejang
-          TT: diberikan pada:     – ibu hamil
– anak usia 13 tahun keatas.
Sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi, imunisasi dilaku­kan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan booster dilakukan pada usia 1,5–2 tahun dan usia 5 tahun. Dosis yang diberikan adalah 0,5 cc tiap kali pemberian secara intramuskuler.

DAFTAR PUSTAKA
1.                  Adams, E. B.; Holloway, R.; Thambiran, A. K.; Dessy, S. D.: Usefulness of Intermittent Positive Pressure Respirations in The Treatment of Tetanus. Lancet 1966;1176–1180.
2.                  Annonymous. Human Antitoxin for Tetanus Prophylaxis. Lancet 1974; i 51–52.
3.                  Asa, K. D.; Bertorini, T. E. Pinals, R. S. Case Report Myositis Ossificans Circumscripta, a Complication of Tetanus. Am. J. Med. Sciences 1986; 292:   40–43.
4.                  Atrakchi, S. A. and Wilson, D. H. Epidemiology. Br. Med. J. 1977; 1:179.
5.                  Barkin, R. M.; Pichichero, M. E. Diphteria–Pertusis–Tetanus Vaccine Teactogenicity of Cimmercial Products. Pediatricas 1979; 63:256–260.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More